SMSI Apresiasi Keputusan Presiden Soal Penundaan Pembahasan RUU Klaster Ketenagakerjaan
Spiritnews.media
| JAKARTA- Keputusan Presiden RI Joko Widodo menunda pembahasan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, patut didukung oleh
semua kalangan. Meskipun demikian, RUU ini harus tetap kita cermati.
Hal itu dikatakan oleh Ketua Umum Serikat Media Siber
Indonesia (SMSI), Firdaus dalam keterangan persnya, hari Jumat (24/4).
Dengan
penundaan pembahasan salah satu RUU tersebut, kata Firdaus, pemerintah
telah mendengarkan aspirasi masyarakat
sebagaimana keberatan yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh.
Setidaknya
Presiden telah menunda pembahasan salah satu RUU yang semula akan dibahas
bersama RUU lainnya, yaitu RUU KUHP.
Sementara
itu Taufiqurahman Ruki, Wakil ketua Dewan Penasehat SMSI Pusat, meminta jajaran
pengurus SMSI agar tetap mencermati RUU Omnibus Law secara menyeluruh.
“Pembahasan RUU Omnibus Law, seharusnya
juga lebih disoroti SMSI karena berpotensi mementahkan banyak UU,” ujar Wakil
ketua Dewan Penasehat SMSI Pusat ini.
Dalam
kondisi seperti ini, kata dia, sebaiknya anggota DPR tidak melanjutkan pembahasan omnibus law ini secara
keseluruhan. Karena kurang tepat jika dipaksakan untuk segera diputuskan.
“Idenya bagus, tetapi secara substansi harus cermat.
Nah kecermatan ini yang kita susah dapatkan dalam kondisi DPR dan situasi
publik secara nasional seperti saat ini" ujar Taufiequrahman Ruki yang
kini juga memimpin Perkumpulan Urang Banten (PUB) yang tersebar di Indonesia
dan berbagai belahan dunia.
Menurut
Taufiequrrahman Ruki, yang menjadi prioritas harus dilakukan DPR kondisi
menghadapi Covid-19 seperti ini adalah dengan merivisi UU APBN "revisi UU
APBN" tandas mantan ketua KPK ini.
Oleh karena
itu, sebagaimana diberitakan sebelumnya,
terhadap rencana pembahasan RUU-RUU tersebut Dewan
Pers meminta pemerintah dan DPR menundanya.
Hal senada
juga disampaikan oleh Firdaus dan jajaran kepengurusan SMSI di seluruh
Indonesia yang beranggotakan 600 media siber.
SMSI
menudukung Dewan Pers yang secara tegas menolak pembahasan RUU KUHP dan RUU
Cipta Kerja karena pemerintah perlu fokus menangani Pandemi Covid-19, selain di
dalam RUU tersebut terdapat pasal yang dapat mendegradasi kemerdekaan pers.
“Ini persoalan penting bangsa yang perlu didengar oleh pemerintah.” kata Firdaus.
Dalam
persoalan ini, Presiden Jokowi tampaknya segera merespon permohonan penundaan
pembahasan salah satu RUU tersebut. “Kemarin pemerintah telah menyampaikan
kepada DPR dan saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada
masyarakat bahwa klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini
pembahasannya ditunda, sesuai dengan keinginan pemerintah," kata Jokowi di
Istana Merdeka, Jumat (24/4).
Menurut
Jokowi, penundaan tersebut memberi waktu yang lebih lama baik bagi pemerintah
maupun DPR untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan.
Sebagaimana
diberitakan oleh ratusan media siber, SMSI meminta Pemerintah memperhatikan
keberatan Dewan Pers yang mewakili unsur pers dalam berdemokrasi, untuk menunda
pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dalam rapat
kerja di tengah pandemi Covid-19.
Menyikapi
hal tersebut, dalam keterangan pers tertanggal 16 April 2020, Ketua Dewan Pers
Muhammad Nuh mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pembahasan berbagai
rancangan perundangan, termasuk RUU KUHP dan RUU Cipta Kerja tersebut, sampai
dengan kondisi yang lebih kondusif, sehingga pelaksanaan proses legislasi dapat
berjalan secara layak, memadai dan memperoleh legitimasi, saran, dan masukan
yang baik dari masyarakat sipil maupun komunitas pers secara maksimal.
Dewan Pers
tetap mengapresiasi langkah-langkah pemerintah dalam upaya menanggulangi
pandemi global Covid-19. Karena itu mendesak agar perhatian semua pihak
termasuk DPR RI dicurahkan kepada upaya kolektif menangani pandemi dan
dampak-dampaknya pada seluruh sektor dan aspek kehidupan masyarakat.
“Pemerintah dan DPR harus dapat menjadi tauladan bagi publik dalam hal upaya
pencegahan penyebaran Covid-19 dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang
mengakibatkan gejolak di masyarakat," ujar M. Nuh dalam rilisnya.
Dewan Pers
menolak pembahasan RUU KUHP terkait dengan pasal-pasal yang dapat mempengaruhi
kemerdekaan pers antara lain Pasal 217-220 (Tindak Pidana Terhadap Martabat
Presiden dan Wakil Presiden), Pasal 240 dan 241 (penghinaan terhadap
Pemerintah), Pasal 262 dan 263 (penyiaran berita bohong), Pasal 281 (gangguan
dan penyesatan proses peradilan), Pasal 304-306 (tindak pidana terhadap agama),
Pasal 353-354 (Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara), Pasal
440 (pencemaran nama baik), dan Pasal 446 (pencemaran terhadap orang mati)
serta pasal-pasal lainnya. (Red)
Posting Komentar