OTSUS PAPUA: Pemekaran Wilayah Papua Menjadi Sebuah Pilihan
DPD RI dan Kementerian Dalam Negeri sepakat untuk melakukan revisi terbatas UU Otsus Papua. Mereka juga sepakat dengan pemekaran wilayah Papua, tetapi dengan sejumlah prasyarat yang jelas.
Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menggelar rapat kerja secara virtual dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, pada Rabu (27/1/2021). Rapat kerja itu membahas Rancangan Undang–Undang (RUU) Perubahan atas Undang–Undang (UU) nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Rapat kerja ini dipimpin langsung oleh Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi.
Dalam kesimpulannya, rapat kerja ini menyetujui beberapa hal, termasuk kesepakatan bersama Komite I DPD RI dengan Mendagri tentang kriteria yang jelas terkait pemekaran Provinsi Papua yang akan dituangkan dalam RUU perubahan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua. Pemekaran Provinsi Papua harus berdasarkan aspirasi dan masukan dari masyarakat Papua.
Kesimpulan itu, Pertama, Komite I DPD RI dan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia sepakat bahwa revisi terbatas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua harus memberikan prioritas pada aspek afirmasi, perlindungan, dan pemberdayaan bagi orang asli Papua (OAP).
Kedua, Komite I DPD RI dan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia sepakat bahwa bentuk dan pola pengawasan, pembinaan, dan pengelolaan otonomi khusus tersebut perlu dipertegas di dalam revisi terbatas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Ketiga, Komite I DPD RI dan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia menyepakati perlunya kriteria yang jelas mengenai pemekaran Provinsi di Papua dalam revisi terbatas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dalam rapat kerja ini, sejumlah anggota Komite I menyampaikan masukannya terhadap draf revisi terbatas UU Otsus yang sudah ada. Dalam pandangan Filep Wamafma dari Papua Barat, draf revisi UU Otsus belum memberikan gambaran mengenai kewenangan Pemerintah Papua. Menurutnya pula, itu perlu dimasukkan dalam konsideran menimbang. Wamafma juga meminta pemerintah merangkul semua pihak dalam pembahasan revisi UU Otsus ini, dan sebelum kebijakan pemekaran diimplementasikan perlu adanya dialog dengan berbagai pihak di Papua agar dapat diimplementasikan dengan baik.
Ada pun Senator Otopianus Tebai menyatakan, pemekaran wilayah di Papua perlu mendapatkan masukan dari berbagai pihak agar sesuai dengan harapan masyarakat Papua. Otopianus juga menyoroti pentingnya penguatan pendidikan informal di Papua. Khususnya bagi mereka-meraka yang pengangguran, didampingi, dan dibina sehingga mereka lebih mandiri. Ia pun menekankan perlunya pemerintah mempertimbangkan partai politik lokal sebagai identitas budaya OAP.
Mendagri Tito Karnavian mengatakan, kebijakan pemekaran Papua merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan di Papua. Ia menuturkan, di Papua masih banyak yang tergolong ke dalam daerah-daerah tertinggal. Dengan wilayah yang luas, rentang kendali pemerintahan menjadi salah satu persoalan. “Skenario pemekaran adalah untuk percepatan pembangunan di Papua, sebagai contoh adalah Manokwari dan Sorong yang berkembang sangat cepat dengan adanya pemekaran menjadi Provinsi Papua Barat,” tegas Mendagri.
Tito menambahkan pula bahwa dalam rencana pemekaran di Papua, pemerintah telah melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat adat Papua. Untuk saat ini, usulan yang akan dimekarkan, khususnya Provinsi Papua, yaitu Papua Selatan, Pegunungan Tengah, dan dan Papua Tengah. Mekanisme pemekaran juga akan melalui proses persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pemerintah menjamin, keberpihakan kepada OAP benar-benar diwujudkan.
Pemakaian Dana tidak Maksimal
Sehari sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, realisasi dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Papua Barat yang bergulir sejak 20 tahun lalu masih banyak yang tersisa, karena kelemahan tata kelola, termasuk perencanaan belum optimal dari pemerintah daerah. “Dana otsus dipakai untuk mengejar ketertinggalan, namun pemakaiannya tidak maksimal dilihat dari sisa anggarannya,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite I DPD RI secara virtual di Jakarta, pada Selasa (26/1/2021).
Menkeu menunjukkan, sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) dana otsus di Papua maupun Papua Barat terbilang tinggi. Rata-rata Silpa dana otsus di Provinsi Papua mencapai Rp528,6 miliar per tahun dan dana transfer infrastruktur (DTI) sebesar Rp389,2 miliar dalam tujuh tahun terakhir. Bahkan, kata Sri Mulyani, pada 2019 terdapat sisa dana otsus sebesar Rp1,7 triliun. Sedangkan di Papua Barat, rata-rata sisa dana otsus dalam tujuh tahun terakhir mencapai Rp257,2 miliar per tahun dan DTI sebesar Rp109,1 miliar. Sedangkan pada 2019, terdapat sisa dana otsus mencapai Rp370,7 miliar.
Sri Mulyani juga mengatakan, belanja kesehatan dan pendidikan masih rendah. Padahal keduanya merupakan sektor yang harus dikejar. Di Papua, belanja pendidikan hanya 13,8 persen, dan kesehatan 8,7 persen. Sedangkan di Papua Barat belanja pendidikan mencapai 14,3 persen dan kesehatan hanya 7,6 persen. “Dari sisi perencanaan belum memadai dan belum ada desain mengenai bagaimana output dengan dana dan belanja yang ditingkatkan. Untuk infrastruktur, perlu usulan yang sudah direncanakan dan dirancang baik sehingga waktu anggaran diberikan, dia bisa dieksekusi dan tidak menjadi sisa,” ucapnya.
Sri Mulyani mencatat, pendanaan untuk Papua dan Papua Barat cukup besar selama 20 tahun terakhir. Total alokasi otsus dan dana transfer infrastruktur mencapai Rp138,65 triliun dari 2002-2021. Selain itu, transfer keuangan dan dana desa (TKDD) dari 2005-2021 mencapai Rp702,3 triliun dan belanja kementerian/lembaga mencapai Rp251,29 triliun selama 2005-2021.
Pemerintah mengusulkan, adanya revisi UU 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua yang salah satu poinnya adalah Pasal 34 terkait pendanaan. Pemerintah juga mengusulkan dana otsus diperpanjang 20 tahun lagi dengan peningkatan yang sebelumnya 2 persen menjadi 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU). Perpanjangan itu dilakukan karena pemerintah pusat mencermati masih terjadi kesenjangan di wilayah Papua.
Perlu diketahui, Otsus Papua merupakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua. Mereka diberi mandat untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Jika merujuk pada Undang-Undang 21/2001, otsus bertujuan meningkatkan taraf hidup, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat, mewujudkan keadilan penerimaan hasil sumber daya alam, penegakan hak asasi manusia, serta penerapan tata kelola pemerintahan yang baik. Otsus Papua akan berakhir pada 2021. (IndonesiaGOID)
Posting Komentar