Tahun 2020, Antara Musibah, Korupsi, dan Peluru, Catatan A.R. Loebis
Ilustrasi-freepik dot com |
JAKARTA – Sepanjang 2020 kita selalu berkata kepada keluarga dan teman, semoga pada 2021 kita kembali ke zaman normal, kembali kepada kebiasaan semula, tidak dihantui kebiasaan zaman “normal baru” yang begitu mengharubirukan. Seperti dilaporkan mimbar-rakyat.com grup siberindo.co.
Kita berharap pada 2021 tidak lagi memakai masker, sudah dapat bersalaman dan berpelukan dengan famili dan handai tolan, sudah dapat solat berjamaah merapatkan barisan syaf, berkumpul arisan bercengkerama, dan kebiasaan normal lainnya.
Kita berharap shalat Tarawih berjamaah di masjid, shalat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan atau masjid, kemudian bersama keluarga dan tetangga bersantap lontong opor ayam. Anak-anak berebut menerima sangon uang dari rumah ke rumah, dan lain sebagainya.
Tapi ternyata belum bisa. Kita masih tersendat-sendat memasuki 2021, masih simpang-siur bicara vaksin, malah ada tren baru berjangkitnya virus, yang harus diwaspadai semua negara. Indonesia pun melarang warga asing masuk ke negara ini mulai Januari 2021.
Dua hari sebelum memasuki 2021, seorang teman dalam grup media sosial malah menyatakan, kini ia memakai masker di rumah. Istri dan anak-anak disuruh pakai masker. Pasalnya ia memcbaca info tentang klaster Covid 19 rumah tangga, yang banyak ditemukan di beberapa kawasan.
Virus Corona bukannya sirna, melainkan semakin semena-mena, merajalela, menempel ke kerongkongan siapa saja, menggerogoti paru-paru manusia. Ia tidak kenal dengan pejabat atau rakyat melata. Siapa tak awas, binasa dimangsa.
Pada Rabu (30/12-20) jumlah kasus positif di Indonesia bertambah 8.002 sehingga total positif menjadi 735.124, sembuh 603.741 dan meninggal 21.944.
DKI Jakarta menjadi provinsi dengan penambahan kasus paling tinggi sebanyak 2.053 kasus, disusul Jabar 1.233 kasus dan Jateng 951 kasus per 30 Desember 2020.
Kita belum lepas dari rangkaian musibah 2020 yang berlanjut hingga memasuki 2021. Virus masih mewabah, vaksin entah sudah sampai mana.
Petaka korupsi
Selain mengalami, musibah pandemi yang masih berkepanjangan, sepanjang 2020 rakyat dikejutkan pula dengan petaka korupsi yang dilakukan penyelenggara negara, yang tertangkap tangan karena melakukan tindak korupsi.
Dugaan korupsi pertama tentang kasus suap izin ekspor benih lobster (benur) yang melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan yang kedua korupsi dana bantuan sosial di era pandemi yang melibatkan Menteri Sosial, Juliari P Batubara.
Edhy ditangkap KPK di Bandara Soekarno-Hatta ketika baru pulang dari Honolulu, Hawaii, AS, Rabu dinihari 25 November 2020, diduga menerima uang sebesar Rp3,4 miliar sedangkan Mensos diduga menerima uang Rp17 miliar, ditangkap KPK pada 6 Desember 2020.
“Benih lobster adalah plasma nutfah yang harus dijaga, bukannya malah diperjualbelikan,” kata menteri sebelumnya, Susi Pujiastuti.
“Bayangkan, lobster yang berukuran 400 gr hingga 500 gr harga per kilogram bisa mencapai 600 ribu hingga 800 ribu. Sementara jika diambil dan diekspor bibitnya saja kita hanya mendapatkan harga 30 ribu. Bukankah dalam segi ekonomi itu merugikan?,” kata mantan menteri itu.
Nah, Ari Batubara, menurut KPK, diduga menerima fee uang suap Rp17 miliar. Ini dihitung dari perhitungan jumlah total paket Bansos dikalikan dengan potongan nilai paket Bansos yang dikorupsi.
Uang sebesar itu, didapat dari pengadaan bantuan sosial Covid-19 di wilayah Jabodetabek pada 2020. Uang itu bakal diterima dalam dua periode pengadaan bansos sembako di Kementerian Sosial (Kemensos).
Bayangkan, dana kemanusiaan yang diperuntukkan bagi rakyat Indonesia pada musim pandemi yang menghantam (seluruh dunia), tapi sampai hati dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan?
Ini merupakan petaka, perbuatan laknat dan musibah besar bagi NKRI – yang didengung-dengungkan harus dipertahankan ini dan memang harus dipertahankan. Ini menyakitkan hati rakyat, walau entah kemana pun mengalirnya uang korupsi itu.
Ari dengan tenang menyerahkan diri. Ia sudah siap dengan resiko yang terjadi pada diri dan jabatannya, dan akhirnya..perbuatan memalukan itu pun terbuka pada penghujung 2020, hanya beberapa hari setelah kasus ekspor benih lobster itu terkuak.
Drama kepulangan Muhammad Rizieq Shihab berakhir dengan desingan peluru menembus dada dan munculnyaderai air mata. Tidak tanggung-tanggung, enam orang tergeletak dengan nyawa melayang dari tubuh mereka. Polisi menyebutkan pihaknya bertanggung jawab atas insiden itu, karena para korban melawan petugas.
Padahal, baru beberapa jam kasus korupsi Mensos menghiasi semua media di Tanah Air. Terbetik berita, tepatnya pada Senin dini hari (7/12/20), enam pengawal Rizieq tewas dengan bolongan peluru di dada. Kisah pilu ini diketahui dengan “insiden tol Jakarta – Cikampek Km-50” .
Para pengawal rombongan Habib yang dalam perjalanan ke pengajian keluarga di Mega Mendung itu, adalah, Luthfi Hakim (24), Faiz Ahmad Syukur (22), Andi Oktiawan ( 33), M Reza (20), Muhammad Suci Khadavi Poetra (21) dan Akhmad Sofiyan (26).
Tahun 2020, kau pergi dengan berbagai kisah. Di antaranya musibah berupa pandemi yang berkepanjangan, kemudian adanya korupsi massal, ditutup dengan desingan peluru mematikan.
Selain kasus benih lobster tadi, serta korupsi dan peluru, tentu banyak masalah lain yang menerpa Tanah Air. Di antaranya, banjir di beberapa tempat termasuk di Sumatera Utara dan keinginan bahkan deklarasi kemerdekaan Papua Barat, dengan Benny Wenda sebagai presidennya.
Menanggapi korupsi yang menggerogoti uang rakyat, Presiden Jokowi mengatakan, ia sudah sering mengingatkan pembantunya agar berhati-hati menggunakan uang negara.
“Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi, dan kita semuanya percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, bekerja secara baik, profesional,” kata Jokowi.
Tentang penembakan menewaskan di tol, Jokowi mengatakan,”Jika ada perbedaan pendapat tentang proses penegakan hukum, saya minta agar menggunakan mekanisme hukum. Ikuti prosedur hukum, ikuti proses peradilan, hargai keputusan pengadilan,” kata Jokowi.
Nah, “ikuti proses peradilan, hargai keputusan pengadilan”, menjadi idiom atau jargon berharga yang dinantikan rakyat Indonesia — tentu saja peradilan yang berimbang, tidak tajam ke bawah tumpul ke atas.
Selamat jalan tahun 2020. Berbagai kisah lain menanti pada 2021. ***
Posting Komentar