Forum Ekonomi Dunia pun memperkuatnya dengan mengatakan, ada sekitar 150 juta ton sampah plastik berada di perairan dunia. Pertumbuhannya pun tak kalah hebat, mencapai 8 juta ton per tahunnya.

International Coastal Cleanup (ICC) merilis, pada 2019 sebanyak 97.457.984 jenis sampah dengan berat total 10.584.041 kilogram ditemukan di laut. Sembilan dari 10 jenis sampah terbanyak yang mereka temukan berasal dari bahan plastik, seperti sedotan dan pengaduk, alat makan plastik, botol minum plastik, gelas plastik, dan kantong.

Sampah-sampah plastik tadi mengancam setidaknya 800 spesies. Hal itu terungkap dari hasil penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention On Biological Diversity) pada 2016. Sebanyak 40 persennya adalah mamalia laut dan 44 persen lainnya spesies burung laut.

Data itu kemudian diperbarui pada Konferensi Laut PBB di markas New York, Amerika Serikat pada 2017. Konferensi menyebut limbah plastik di lautan telah membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan dalam jumlah besar setiap tahun.

Plastik fleksibel, seperti lembaran plastik, tas, dan kemasan dapat menyebabkan penyumbatan dan infeksi usus. Terkadang hal ini berujung pada kematian terutama spesies cetacea (seperti paus dan lumba-lumba) dan kura-kura.

Sampah plastik di lautan juga menjadi masalah bagi Indonesia. Kita tentu masih ingat dengan penemuan bangkai paus sperma (Physeter macrocephalus) di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 18 November 2018. Bangkai ikan bernama lain paus kepala kotak itu kemudian dinekropsi. Hasilnya sungguh mengejutkan karena dari dalam perutnya ditemukan ratusan sampah plastik berbagai jenis seberat total 5,9 kilogram.

Sampah-sampah tadi di antaranya sebanyak 1.000 potong tali rapia, gelas plastik bekas air minum dalam kemasan (AMDK) ukuran 350 mililiter (115 buah), dan kantung plastik (25 buah). Terdapat pula sepasang sendal jepit ditemukan di dalam perut bangkai paus sperma berukuran tubuh hampir 10 meter itu. Temuan itu menunjukkan betapa bahayanya dampak sampah plastik hingga menyebabkan kematian seekor paus sperma, salah satu mamalia air terbesar di Bumi.

Temuan tadi sejalan dengan hasil penelitian World Wild Fund (WWF) Indonesia yang menyebutkan sebanyak 25 persen spesies ikan laut telah mengandung bahan mikroplastik. Tentu saja bahan tersebut berasal dari sampah plastik di lautan. Mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 mm dan dapat dikonsumsi plankton, salah satu makanan utama ikan.

Kondisi itu bisa terjadi karena setiap tahun laut Indonesia diperkirakan mendapat kiriman dari darat 70-80 persen sampah plastik bekas konsumsi manusia. Jumlahnya antara 480 ribu-1,29 juta ton sampah plastik dari total 3,22 juta ton sampah yang masuk ke laut dan pesisir.  Hal itu diungkapkan peneliti mikrobiologi laut dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ariani Hatmanti pada seminar International Conference on the Ocean and Earth Sciences (ICOES), yang dilaksanakan secara daring di Jakarta, 19 November 2020.

"Karena itu perlu adanya rencana strategis dalam pengelolaan sampah di mana para pemangku kepentingan berkolaborasi dan berkampanye untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai, mendaur ulang plastik, dan mengembangkan lebih banyak mikroba pengurai plastik," katanya. 

 

Komitmen 2025

Pemerintah pun tak tinggal diam. Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan sebuah kebijakan, Peraturan Presiden nomor 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Di dalam peraturan tersebut, terdapat rencana aksi nasional (RAN) penanganan sampah plastik di laut pada 2018-2025.

Targetnya, sampah plastik di laut tereduksi hingga 70 persen pada 2025. Salah satu upayanya adalah dengan mengaktifkan Kemitraan Aksi Plastik Nasional (National Plastic Action Partnership/NPAP). Kemitraan tersebut menjadi yang pertama di dunia dan menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi produksi sampah plastik.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, upaya mengurangi sampah plastik di laut harus dilakukan secara terintegrasi dalam lingkup nasional, regional, maupun global. Terutama melalui pengurangan sampah yang berasal dari aktivitas yang ada di darat. Indonesia saat ini sudah berada di jalur yang tepat dalam upaya mengurangi produksi sampah plastik di laut dengan memulainya dari darat.

Bagi Indonesia, sekarang adalah momen bagaimana memilih yang benar, dan bukan yang mudah. Demikian dikatakan Luhut saat berbicara sebagai salah satu panelis dalam konferensi virtual internasional bertajuk Radically Reducing Plastic Pollution: Digital Launch of Indonesia’s Multi-Stakeholder Action Plan bersama Global Plastic Action Partnership, pertengahan April 2020. “Daripada bertahan dengan pendekatan business as usual, kami akan menerapkan pendekatan perubahan sistem penuh untuk memerangi limbah plastik dan polusi,” tutur Luhut.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti mengatakan, melalui NPAP sudah terjadi reduksi sampah plastik di laut sebesar 11,2 persen. Pemerintah pun melibatkan swasta untuk penerapan NPAP lewat wadah Organisasi Pengelolaan Sampah Plastik (Plastic Recovery Organization/PRO).

Enam perusahaan besar Indonesia ikut bergabung, seperti PT Coca-Cola Indonesia, PT Danone Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Nestle Indonesia, Tetra Pak Indonesia, dan PT Unilever Indonesia Tbk. Program yang dinaungi PRO berjalan di Surabaya (Jawa Timur) dan Bali sejak 2020.

Kerja sama itu berupa pengolahan bahan plastik yang berasal dari kemasan bekas dan memadukannya dengan bahan plastik baru yang akan dipakai untuk kemasan yang baru. Bagi dia, upaya tersebut menjadi bagian dari kepedulian industri dalam menyelesaikan persoalan sampah.

Coca Cola Indonesia (CCI) bertepatan dengan Hari Penanganan Sampah Nasional (HPSN) 2021, Minggu (21/2/2021) meluncurkan kemasan Sprite botol plastik bening. Ini merupakan terobosan karena sejak 1971 botol minuman berkarbonat produksi CCI ini identik dengan warna hijau.

"Plastik bening lebih mudah didaur ulang dibandingkan plastik warna. Setelah separuh abad, kami pikir ini waktu yang tepat untuk bertransformasi dan mendorong praktik pengolahan sampah berkelanjutan," kata Director of Public Affairs, Communication and Sustainability CCI, Triyono Prijosoesilo seperti dikutip dari Antara.

Unilever Indonesia pun telah mendesain ulang botol kemasan produk-produk mereka untuk mengurangi bahan plastik. Di antaranya menipiskan plastik kemasan dan memendekkan bentuk botol serta menggunakan plastik daur ulang sebagai bahan kemasan.

"Hingga 2025 kami ingin mengurangi pemakaian virgin plastic (bahan plastik yang belum pernah diolah) sampai sebesar 100 ribu ton. Kami juga ingin 100 persen memakai kemasan plastik yang dapat didaur ulang," kata Head of Corporate Affairs and Sustainability Unilever Indonesia Nurdiana Darus dalam webinar menyambut HPSN 2021, Kamis (18/2/2021).

Pihaknya, Darus melanjutkan, juga menyediakan stasiun isi ulang untuk sejumlah produk di sebuah toko kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Konsumen bisa membawa wadah sendiri untuk mengurangi sampah.

Semoga saja segala upaya tersebut di atas mampu mereduksi sampah-sampah plastik di laut dan menjaga kelestarian biota di dalam dan sekitarnya. Di samping itu, agar biota laut seperti ikan tetap aman dikonsumsi masyarakat karena tidak lagi terkontaminasi mikroplastik. Mengutip pernyataan Menko Marves Luhut Pandjaitan bahwa dengan melaksanakan visi untuk 2025, itu juga menjadi bentuk komitmen dan tekad kuat Indonesia untuk bisa melangkah lebih jauh dalam melaksanakan pengelolaan sampah plastik. Pemerintah berharap Indonesia bisa mencapai status bebas polusi sampah plastik di 2040. (foto:Antara/Indonesia.go.id)