Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengeluarkan pernyataannya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 yang masih terkontraksi 0,74 persen (yoy).

Nah, berdasarkan laporan BPS itu, bagaimana sebenarnya potret industri pengolahan, setelah setahun lebih pandemi melanda negeri, sejak pertama infeksi virus asal Wuhan, Tiongkok, ditemukan di Indonesia?

Pelbagai pelaku dan pejabat yang otoritatif di sektor itu menunjukkan optimisme. Menyusul adanya pembalikan dari perekonomian nasional, terutama industri pengolahan. Indikasi ini terlihat dari kinerja perekonomian sepanjang kuartal I-2021 dan juga tampak dari kinerja pertumbuhan ekonomi beberapa negara mitra dagang Indonesia yang mulai menuju tren menjanjikan.

Sebut saja, Tiongkok. Negeri panda itu mencatat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, meningkat pesat menjadi 18,3 persen selama kuartal I-2021 berbandingkan kuartal yang sama pada 2020 dengan kontraksi 6,8 persen.

Demikian pula Amerika Serikat (0,4 persen), Singapura (0,2 persen), Korea Selatan (1,8 persen), Vietnam (4,5 persen), dan Hong Kong (7,8 persen). Khusus mitra dagang Uni Eropa, masih mengalami kontraksi 1,7 persen.

Dalam laporan BPS, pada Senin (5/5/2021), tertera bahwa kontribusi PDB subsektor itu mencapai 17,91 persen sepanjang kuartal I-2021, lebih tinggi dari periode yang sama 2020 17,86 persen.

Namun, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto mengatakan, dari sisi pertumbuhannya industri pengolahan mengalami kontraksi  1,38 persen pada kuartal I-2021. Namun bila dilihat lebih detail lagi industri nonmigas sudah mengalami penurunan kontraksi jadi 0,71 persen pada kuartal I-2021, dari yang sebelumnya 2,22 persen di kuartal IV-2020.

Menurutnya ada beberapa industri pengolahan yang mengalami pertumbuhan menggembirakan. Kendati ada pula yang agak melambat dibanding situasi pada kuartal I-2020.

“Jadi kembali kalau kita lihat proses recovery, akan berbeda antarsektor industri maupun subsektor. Kontraksi nonmigas semakin menipis 0,71 persen, kembali menunjukkan arah perbaikan,” ucap Suhariyanto.

Begitupun dengan industri makanan dan minuman tumbuh 2,45 persen didorong oleh peningkatan produksi panen raya tanaman padi, sejalan dengan industri penggilingan padi dan penyosohan beras serta peningkatan produksi CPO untuk memenuhi pangsa ekspor.

Pun demikian dengan industri logam dasar yang tumbuh 7,71 persen. Penyebabnya adalah karena adanya permintaan dari luar negeri, terutama untuk komunitas feronikel dan produk baja.

Ada pula industri yang tumbuh double digit di era pandemi, yakni Industri kimia, farmasi, dan obat tradisional. Benar, subsektor itu bisa tumbuh hingga sebesar 11,46 persen karena adanya peningkatan produksi alat yang terkait kesehatan dalam rangka mendukung program penanganan Covid-19.

Bagaimana dengan indutri yang selama ini menjadi komoditas produk unggulan seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Patut disayangkan, komoditas ini masih mencatat kontraksi pertumbuhan yang cukup dalam, yakni 13,28 persen. Penyebabnya adalah permintaan domestik dan ekspor yang masih belum membaik. Padahal, momentumnya bagi subsektor itu untuk mengalami pembalikan cukup tersedia, yakni momentum hari raya Idulfitri 1442 Hijriah.

Berkaitan dengan kinerja industri pengolahan itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyakini, dalam waktu dekat kinerja positif bakal menyertai sektor industri. Sektor industri dinilai mulai menggeliat kembali untuk terus berproduksi dan menggerakkan roda perekonomian.

“Saya yakin, meski industri manufaktur masih terkontraksi 0,71 persen pada kuartal I-2021, sektor itu akan tumbuh positif pada kuartal II-2021,” ujarnya. Tentu Agus tidak asal berbicara. Indikasi mulai adanya pembalikan, kata dia, terlihat dari kontraksi industri manufaktur yang masih lebih baik dari kontraksi pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Terus Meningkat

Selain itu, Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia terus meningkat di level ekspansi. Pada Maret 2021, PMI Manufaktur Indonesia berada di level 53,2, selanjutnya naik menjadi 54,6 pada April, yang merupakan level tertinggi sepanjang sejarah.

“Sejalan dengan kenaikan PMI, utilisasi industri pengolahan nonmigas pada Maret 2021 mencapai 61,30 persen, meningkat dibanding dua bulan sebelumnya,” tuturnya.

Secara tahunan (yoy), industri manufaktur pada kuartal I-2021 terkontraksi atau minus 0,71%, pada kuartal IV-2020 minus 2,22%, dan pada kuartal I-2020 tumbuh positif 2,01%.

Sedangkan secara kuartalan (quarter to to quarter/qtq) tumbuh 0,08% pada kuartal I-2021, tumbuh 0,07% pada kuartal IV-2020, dan minus 1,44% pada kuartal I-2020.

Menperin menjelaskan, kebijakan Kemenperin mendorong penguatan industri melalui implementasi izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI), insentif pajak penjualan barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM DTP), dan kebijakan harga gas telah mendorong penguatan industri manufaktur di dalam negeri. 

“Kami optimistis industri pengolahan nonmigas pada kuartal II sudah masuk teritori positif seiring meningkatnya aktivitas ekonomi,” ucap Agus Gumiwang.

Dia menambahkan, secara kuartalan, beberapa indikator industri sudah naik double digit, seperti produksi mobil yang naik 23,36%, penjualan mobil meningkat 16,63%, bahkan penjualan sepeda motor melonjak 64,52%. “Selama ini, industri otomotif berperan strategis dalam memacu perekonomian karena memiliki banyak sektor penunjangnya,” kata Agus.

Menperin menyatakan, kinerja positif itu menandakan sektor industri mulai menggeliat kembali untuk terus berproduksi dan menggerakkan roda perekonomian.

Dia berharap momentum ini jangan sampai hilang. Menperin mengemukakan, pada kuartal I-2021 pun, sektor industri manufaktur menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Hal itu terlihat pada kontribusi manufaktur terhadap PDB nasional yang mencapai 17,91 persen, lebih tinggi dari periode  sama 2020 yang tercatat 17,86 persen.

Selain itu, menurut dia, nilai ekspor sektor industri pada Januari--Maret 2021 mencapai USD38,95 miliar dan menghasilkan neraca surplus sebesar USD3,69 miliar. Tiga industri yang memberikan nilai terbesar, yakni industri makanan sebesar USD9,68 miliar, industri logam dasar USD5,86 miliar, serta industri bahan kimia, farmasi, dan obat tradisional senilai USD4,30 miliar.

Bukti lainnya, kata Menperin, nilai investasi sektor industri pada Januari--Maret 2021 tumbuh 37,97 persen menjadi Rp88,3 triliun dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Momentum yang sudah bagus dan berada pada jalurnya itu harus tetap dijaga. Program vaksinasi yang semakin masif dan ketaatan menerapkan protokol kesehatan tetap sebagai game changer untuk menstimulasi aktivitas ekonomi dan sosial.

Kabar gembira lainnya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih baik adalah laporan Bank Indonesia yang menyebutkan cadangan devisa Indonesia kembali menebal. Lembaga bank sentral itu menyebutkan, cadangan devisa pada April 2021 meningkat menjadi USD138,8 miliar dari posisi Maret USD137,1 miliar. Kenaikan itu terutama dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa serta penarikan pinjaman luar negeri pemerintah.

Ibaratnya, cadangan devisa adalah bagian dari ‘tabungan nasional’ yang dapat digunakan untuk sejumlah keperluan seperti pembayaran perdagangan internasional maupun utang luar negeri pemerintah sehingga geliat ekonomi nasional tetap terjaga. (foto Antara)