Hilirisasi Industri Terus Dipacu
Kinerja ekspor industri pengolahan terus menunjukkan tren yang positif meski masih dikelilingi wabah.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan selama periode Januari--Mei 2021, nilai ekspor industri pengolahan mencapai USD66,70 miliar, naik 30,53 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar USD51,10 miliar.
Bagi Kementerian Perindustrian, pencapaian tentu disambut semringah. Pasalnya, wabah Covid-19 belum berakhir. Bahkan, ada yang menyebutnya kini sedang masuk fase yang mengkhawatirkan dengan adanya virus delta asal India.
Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kinerja ekspor industri pengolahan terus menunjukkan tren positif di tengah ancaman dampak pandemi Covid-19.
Agresivitas sektor manufaktur menembus pasar internasional ini turut mengakselerasi upaya pemulihan ekonomi nasional.
“Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan daya saing industri nasional agar bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi dan kompetitif di mancanegara,” ujarnya dalam siaran persnya, Senin (21/6/2021).
Agus juga mengapresiasi ketangguhan pelaku industri Indonesia yang kini sudah bisa adaptif di pasar global di tengah wabah pandemi. Berkaca dari data BPS, nilai ekspor industri pengolahan mencapai USD66,70 miliar selama Januari--Mei 2021, naik 30,53 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar USD51,10 miliar.
Dari capaian USD66,70 miliar tersebut, industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi, yakni 79,42 persen dari total ekspor nasional yang berada di angka USD83,99 miliar.
Menurut Agus, besarnya proporsi ekspor produk industri pengolahan sekaligus menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran ekspor Indonesia dari komoditas primer kepada produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi.
Hal ini dinilai Agus, dapat menghindarkan ekspor dari gejolak harga komoditas primer. "Oleh karenanya, Kementerian Perindustrian bertekad untuk terus memacu hilirisasi industri, karena berdampak positif dan memberikan multiplier effect yang luas, termasuk dalam penerimaan devisa melalui capaian ekspor," paparnya.
Harus diakui, membaiknya kinerja ekspor selama lima bulan ini telah mencatatkan terjadinya surplus perdagangan USD10,17 miliar. Pemerintah pun akan tetap fokus untuk menggenjot kinerja industri berorientasi ekspor yang memiliki keunggulan komparatif dan berkelanjutan.
Selain itu, agar industri dapat bersaing dengan negara-negara lain, hilirisasi harus terus dijalankan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan mengoptimalkan sumber daya alam agar bisa bernilai tambah tinggi.
Lebih lanjut, kebijakan proinvestasi dan proekspor perlu dibarengi dengan kebijakan peningkatan daya tahan dan daya saing industri dalam negeri. Sebagai salah satu upaya peningkatan daya tahan dan daya saing industri dalam negeri, Kemenperin telah menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35 persen pada 2022.
Pemerintah juga mendorong sektor industri untuk melakukan perluasan pasar ekspor, khususnya pasar-pasar nontradisional seperti ke Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur. Di samping itu, perlu dilakukan percepatan penyelesaian perundingan dengan negara-negara potensial sebagai agenda prioritas.
Saat ini, Indonesia telah menjalin kerja sama ekonomi komprehensif dengan Australia, Korea, dan Uni Eropa. Implementasi 23 perjanjian perdagangan bilateral dan regional yang sudah ditandatangani juga harus benar-benar dimanfaatkan oleh para pelaku industri di Indonesia. “Misalnya, melalui IA-CEPA, salah satu peluangnya adalah meningkatkan ekspor sektor otomotif.” (*)
Posting Komentar