Karet Alam Tumbuh di Musim Pandemi
Di Sumut, volume ekspor karet turun, tapi nilainya tumbuh. Ada anggapan fluktuasi harga karet itu terjadi gara-gara oversupply. Gapkindo mewanti-wanti jangan sampai jamur memangkas produksi.
Karet memang elastis. Isu kenaikan harga minyak bumi, yang mengisyaratkan akan naiknya harga karet sintetis, direspons dengan berkibarnya harga karet alam. Pada perdagangan Kamis, 20 Mei 2021, di Bursa Komoditas SHFE Shanghai, harga karet bergerak naik. Untuk penyerahan September 2021, harganya naik 85 poin ke level 13,40 Yuan per kg.
Di bursa Singapura Sicom, harga karet juga membaik. Untuk kontrak Juli 2021 harganya naik 0,85 persen ke level USD1,4 per kg. Kenaikan harga karet juga dilaporkan dari bursa Tokyo Tocom. Info kenaikan ekspor karet Vietnam ke Tiongkok di kuartal pertama 2021 menjadi sentimen positif yang mengungkit harga karet di pasar Tokyo.
Dengan kenaikan harga di pasar internasional, harga karet di Palembang pun moncer. Untuk karet dengan kualitas kadar karet kering (KKK) 100 persen, harganya bertengger di sekitar Rp20.500 per kg. Namun, karet dengan KKK 100 persen adalah karet olahan industri. Karet rakyat, mutunya KKK 60–40 persen, harganya terpaut jauh di bawahnya.
Toh, Ahmad Toha, petani karet dari Kecamatan Paninjauan, Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan (Sumsel), merasa senang karetnya laku Rp12.000 per kg. ‘’Mudah-mudahan jangan cepat anjlok lagi,’’ katanya.
Ia mengakui, sejak akhir 2020, harga karet alam relatif terus membaik, meski sangat fluktuatif. Sejak itu pula, Ahmad Thoha bisa menjual karetnya rata-rata di atas Rp9.000 per kg untuk karet olahannya yang berkualitas KKK 60 persen. Rata-rata Thoha bisa menjual 120 kg keret per minggu dari dua hektare kebun karetnya. ‘’Saya nyadap sendiri, ngolah sendiri,’’ ujarnya.
Sumatra Selatan adalah sentra produksi karet terbesar di Indonesia dengan luas area kebun lebih dari 1,3 juta ha dan produksi 1,12 juta ton karet kering. Kontribusinya terhadap produksi nasional sekitar 28 persen. Sentra produksi karet lainnya ialah Sumatra Utara, Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat. Indonesia adalah produsen karet alam terbesar kedua di dunia setelah Thailand.
Secara nasional, luas kebun karet Indonesia sekitar 3,55 juta hektare. Sekitar 85 persen ialah kebun rakyat. Yang 15 persen adalah perkebunan negara dan swasta (2018). Beberapa tahun sebelumnya, porsi keduanya lebih besar, namun mereka mengganti kebun karetnya ke sawit karena harga karet terlalu fluktuatif.
Pada 2018, produksi karet kering nasional sekitar 3,4 juta ton. Sekitar 80 persennya diekspor. Pada 2011, dengan volume 2,56 juta ton nilai ekspornya USD11,9 miliar. Beranjak ke 2017, volumenya 2,99 juta ton, tapi nilai ekspornya USD6,06 miliar, yang parah 2018 dengan 2,82 juta ton, nilainya turun menjadi USD3,95 miliar. Fluktuasi harga produk tanaman industri ini cukup mendebarkan.
Produksi karet alam dunia hampir 14 juta ton, sedangkan karet sintetis sekitar 15 juta ton. Sampai batas tertentu keduanya bisa saling substitusi. Persoalannya, pertumbuhan demand karet ini tidak secepat produksinya. Maka, pasokan sering terlalu melimpah, dan harga merosot.
Pada 2019, tiga pemain utama karet alam, yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand, sepakat untuk mengurangi pasokan ke pasar ekspor sebesar 240 ribu ton. Harga karet alam pun menguat, dan itu terlihat dari pergerakannya di bursa Sicom (Singapura), Tocom (Tokyo), dan SHFE Shanghai.
Namun, taktik mengurangi pasokan ke pesar impor itu bisa jadi kurang ampuh bila harga minyak melemah. Sementara itu, karet sintetis yang dibikin dari olahan polimer produk samping dari industri kilang minyak bumi itu praktis volume produksinya mengikuti induknya.
Terlepas dari persaingan keduanya, harga karet sentetis dan karet alam pun terkulai oleh pandemi Covid-19 pada 2020. Harga keduanya anjlok. Sebagai petani, Ahmad Thoha harus rela menjual karet olahan kualitas KKK 60 persen seharga Rp7.000 per kg. ‘’Ngilu rasanya,’’ kata Thoha.
Pandemi Covid-19 membuka peluang bagi berbagai properti operasional medis yang terbuat dari karet alam. Mulai sarung tangan, selang oksigen, alas kaki, kemasan obat, dan banyak lainnya. Ada tambahan demand, harga naik, dan Ahmad Thoha mendapat manfaat. Sejak Juli 2020, harga karetnya bertahan di kisaran Rp9.500 hingga Rp. 11 ribu per kg.
Ketika permintaan menguat, pasokan cenderung menyusut. Penyakit gugur daun menyerbu kebun-kebun karet di Indonesia, Malaysia, dan terutama Thailand. Penyebabnya, curah hujan yang tinggi. Produksi karet alam susut. Karet sintetis juga tak meningkat. Harga minyak pun mulai pulih setelah terpelanting pada Maret--April 2020, sehingga tak ada limpasan produksi karet sintetis.
Maka, harga karet rakyat berada pada level yang relatif cukup tinggi. Fluktuasi terus terjadi. Untuk mutu KKK 100 persen harganya bertahan di sekitar Rp17.000 hingga Rp21.500 per kg. Sebagian petani yang pohon karetnya terserang penyakit gugur daun, dan produksinya merosot, menerima konpensasi dari kenaikan harga.
Volume Turun, Nilai Naik
Sepanjang 2020, menurut Kepala BPS Sumatra Utara Syech Suhaimi, ekspor karet dan produk karet dari Sumatra mencapai 380 ribu ton. ‘’Turun 7,3 persen dari 2019,’’ kata Syech Suhaimi seperti dikutip Antara awal Februari 2021.
Nilai ekspornya USD1,142 miliar. ‘’Meski turun dari sisi volume, tapi nilai ekspornya tumbuh 5,63 persen,’’ Suhaimi menambahkan. Karet memberi kontribusi 14,13 persen pada ekspor Sumut 2020.
Secara nasional, ekspor karet dan produk karet 2020 diperkirakan di atas USD5 miliar. Pada November 2020, misalnya, nilai ekspor karet dan produk karet mencapai USD502,6 miliar. Sepanjang 2020, hanya pada April-Mei ekspor karet terpuruk. Selebihnya cukup moncer.
Memasuki 2021, harga karet terus berfluktuasi pada level yang cukup tinggi. Ahmad Thoha mengatakan, karetnya laku di kisaran Rp9.000–Rp12.000 per kg. ‘’Cuma naik turunnya sering bikin stres. Baru sebulan lalu Rp9.500 tiba-tiba naik ke Rp12,000 per kg. Nanti, turun lagi,’’ kata Thoha pula.
Sebagian pelaku industri karet, Thoha meyakini bahwa problem fluktuasi harga karet yang tajam itu bukan karena persaingan langsung dengan karet sintetis. Belajar dari kasus merebaknya penyakit gugur daun, yang ternyata mendorong karet alam ke harga yang lebih baik, mereka menganggap bahwa fluktuasi harga itu lebih disebabkan oleh kelebihan pasokan alias oversupply karet alam.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo mewanti-wanti, jangan menganggap sepele penyakit gugur daun. Penyakit akibat jamur itu, katanya, bila dibiarkan berkembang, dapat menurunkan produksi kebun hingga 70--90 persen. Pasokan karet akan akan terganggu dan pada gilirannya mengganggu industri pengolahannya.
Tentang isu oversupply itu memang harus ditindaklanjuti, dengan membicarakannya dengan para pemangku kepentingan, agar dicarikan solusinya. Namun, tidak dengan cara membiarkan penyakit jamur memangkas produksi. Semua perlu dihitung cermat. (*)
Posting Komentar