Tak Lapor SPT? Denda Menanti
Denda mulai dari Rp100.000 hingga maksimal Rp1 juta dikenai kepada para wajib pajak baik orang pribadi atau badan usaha yang tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan tidak membuka perpanjangan masa pelaporan SPT Tahunan. Bagi wajib pajak (WP) yang belum melapor akan menerima surat pemberitahuan yang berisi teguran dan kewajiban mengurus pajaknya, termasuk ketentuan denda.
Masa pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan wajib pajak untuk 2021 yang diberikan dalam waktu satu bulan, sejak 1 Maret 2021, telah berakhir pada 31 Maret 2021. Ditjen Pajak mencatat peningkatan angka kepatuhan WP, baik orang pribadi atau badan usaha dibandingkan tahun sebelumnya meski dalam kondisi pandemi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin Noor mengatakan jika jumlah pelaporan SPT Tahunan 2021 mencapai 11,3 juta WP atau sebesar 80 persen dari target jumlah wajib pajak yaitu sebanyak 15,2 juta WP. Angka kepatuhan sebesar 11,3 juta WP tersebut meningkat sebesar 26,6 persen atau 2,4 juta WP jika dibandingkan pada 2020 yang sebesar 8,9 juta WP.
Peningkatan ini didorong melonjaknya pelaporan SPT yang dilakukan secara elektronik melalui e-Filing, e-Form, dan e-SPT sebesar 26,1 persen atau naik 2,2 juta WP dari tahun sebelumnya, yaitu 8,6 juta WP. Masa pandemi yang mewajibkan setiap WP menjalankan protokol kesehatan ketat termasuk menjaga jarak dan tidak keluar rumah menjadi salah satu penyumbang meningkatnya persentase pelaporan SPT secara elektronik.
Kendati demikian, Ditjen Pajak memastikan tidak memperpanjang waktu untuk pelaporan SPT bagi wajib pajak orang pribadi. Sesuai ketentuan di dalam Pasal 3 Ayat 3 Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, batas waktu penyampaian SPT Tahunan dalam bentuk surat pemberitahuan masa adalah paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak.
Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) WP orang pribadi, paling lama tiga bulan setelah akhir tahun pajak. Sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WP badan, paling lama empat bulan setelah akhir tahun pajak. Artinya, bagi para WP yang belum melakukan pelaporan SPT tahun 2021 bersiap untuk menerima denda.
Besaran Denda Pajak
Lalu berapa denda yang dikenakan kepada para WP karena kelalaian dalam pelaporan kewajiban pajaknya? Mengutip penjelasan di laman www.pajak.go.id, sesuai ketentuan di dalam Pasal 7 Ayat 1 UU KUP, ada sanksi administrasi berupa denda yang nilainya bervariasi. Sanksi senilai Rp500.000 akan dikenai kepada wajib pajak yang tidak menyerahkan pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Kemudian ada denda senilai Rp100.000 jika tidak menyerahkan pelaporan Surat Pemberitahuan Masa lainnya. Denda dengan nilai serupa dibebankan bagi WP yang tidak melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) WP kategori orang pribadi. Denda lebih tinggi, mencapai Rp1 juta, dikenakan kepada WP badan usaha, untuk kasus yang sama.
Lalu bagaimana Ditjen Pajak bisa mengetahui bahwa para wajib pajak belum melaporkan kewajiban pajaknya kepada negara? Dalam UU KUP disebutkan bahwa Ditjen Pajak akan mengirimkan surat teguran untuk mengingatkan belum tunainya kewajiban para wajib pajak. Surat Ketetapan Pajak (SKP), begitu nama resmi dari "surat cinta" yang dikeluarkan harus segera direspons WP maksimal 30 hari setelah surat itu diterima.
Tidak perlu risau mengenai SKP ini, karena tidak seluruhnya berjenis teguran, meski itu merupakan tanda cinta negara kepada rakyatnya yang menjadi wajib pajak. Di dalam UU setidaknya ada empat jenis SKP, di antaranya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) terbit apabila jumlah kredit pajak lebih besar dibandingkan jumlah pajak yang terutang atau seharusnya terutang. SKPLB terbukti membuat WP senang saat menerimanya.
Kemudian ada Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) yang terbit apabila setelah proses pemeriksaan selesai, diketahui bahwa jumlah kredit pajak yang disetor sama dengan jumlah pajak yang seharusnya terutang. Atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
Lalu mengapa SKPN ini diterbitkan kalau tidak ada berita buruk atau berita baiknya? Itu dilakukan demi memberikan kepastian hukum kepada WP atas proses pemeriksaan yang telah berlangsung.
Ada lagi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang terbit jika jumlah kredit pajak yang WP setor lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pajak yang terutang. SKPKB ini diterbitkan setelah melewati proses pemeriksaan terlebih dulu, bukan semena-mena kantor pajak saja.
Terakhir adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). SKP ini terbit sebagai koreksi/tambahan atas surat ketetapan sebelumnya yang ternyata ditemukan data baru dan mengakibatkan bertambahnya jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan pemeriksaan.
Masih ada lagi yang disebut dengan Surat Tagihan Pajak (STP), yang diterbitkan Ditjen Pajak jika PPh tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Kemudian dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat dari salah tulis dan/atau salah hitung. Selain itu STP terbit karena WP dikenai sanksi administrasi yaitu denda dan/atau bunga atau pengusaha kena pajak (PKP) tidak atau terlambat memuat faktur pajaknya atau tidak mengisi faktur pajaknya secara lengkap. STP bisa terbit karena salah satunya terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada wajib pajak.
Jika STP ini tidak direspons oleh WP terutama untuk SKPKB, maka sesuai ketentuan di Pasal 13 Ayat 3 UU KUP, akan dikenai sanksi administrasi kenaikan 50 persen untuk PPh kurang bayar. Sanksi administrasi juga dikenakan jika WP mengabaikan SKPKB untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, berupa kenaikan sebesar 100 persen.
Kemudian jika ada pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi. Sesuai ketentuan Pasal 13 Ayat 2 UU KUP, bentuknya berupa bunga sebesar 2 persen per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya masa pajak, paling lama 24 bulan.
Mereka yang Tidak Terkena Denda
Lalu siapa saja yang tidak terkena denda dan sanksi administrasi dari Ditjen Pajak meski belum melaporkan SPT Tahunan? Menurut Pasal 7 Ayat 2 Uundang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), mereka yang dibebaskan dari denda dan sanksi administrasi itu adalah WP orang pribadi yang telah meninggal dunia, atau tak lagi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Kemudian WP orang pribadi yang berstatus warga negara asing yang sudah tidak tinggal di Indonesia.
Pasal 7 Ayat 2 UU KUP juga berlaku bagi WP badan usaha yang tidak lagi melakukan kegiatan usaha di Indonesia atau badan usaha asing yang tak lagi melakukan kegiatan usaha di Indonesia, tapi belum dibubarkan sesuai peraturan yang berlaku. Di dalamnya termasuk bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi. Kemudian, Pasal 7 Ayat 2 UU KUP juga mencakup wajib pajak yang terkena bencana yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Terakhir adalah wajib pajak lain yang ditentukan oleh PMK nomor 186/PMK.03/2007. Di dalam PMK tersebut, pengecualian diberikan kepada WP karena menjadi korban kerusuhan massal, musibah kebakaran, ledakan bom atau serangan terorisme. Pengecualian juga diberikan bagi wajib pajak yang mengalami perang antarsuku, dan mengalami kegagalan sistem komputer administrasi penerimaan negara atau perpajakan. Untuk membayar denda seperti telah dijelaskan di atas. Ditjen Pajak memberi kemudahan agar WP dapat membayar denda secara daring terlebih dalam masa pandemi seperti sekarang ini.
Cara Bayar Denda secara Daring
Langkah-langkah membayar denda pajak secara daring dimulai saat WP masuk ke laman www.pajak.go.id untuk melakukan login, kemudian klik "Bayar" dan pilih “e-Billing”. Wajib pajak mengisi bagian "Jenis Pajak" dengan memilih “411125-PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi atau Badan”. Selanjutnya akan diarahkan ke bagian jenis setoran, maka WP memilih jenis setoran “300-STP”.
Saat berada di kolom "Masa Pajak", WP mengisi bulan Januari hingga Desember. Kemudian mengisi "Tahun Pajak" sesuai dengan tahun pajak yang tertera dalam STP yang diterima. Lalu WP melengkapi bagian "Nomor Ketetapan" sesuai dengan STP. Format pengisian yaitu Nomor Urut/Jenis SKP/Tahun Pajak/Kode KPP/Tahun Terbit.
Selanjutnya isi bagian "Jumlah Setor" sesuai dengan nominal dalam STP. Setelah itu klik bagian "Buat Kode Billing" dan masukkan kode keamanan lalu klik "Submit". Saat itu juga wajib pajak akan melihat ringkasan Surat Setoran Elektronik (SSE). Pastikan seluruh data yang tertera dalam SSE sudah benar. Terakhir, klik "Cetak" dan kode billing akan terunduh secara otomatis. Nantinya kode tersebut dapat digunakan untuk melakukan pembayaran denda melalui bank, kantor pos, anjungan tunai mandiri (ATM), atau internet banking. (*)
Posting Komentar