BPPT Dukung Ekosistem Kendaraan Listrik Berbasis Baterai
Jakarta - Sejalan dengan program percepatan kendaraan listrik nasional dan telah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk transportasi jalan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus memberikan kontribusi positif guna mendukung berkembangnya ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).
Kepala BPPT, Hammam Riza menyampaikan, Electromobility atau e-Mobility mewakili konsep penggunaan teknologi powertrain listrik, sistem informasi dalam kendaraan, teknologi komunikasi, dan infrastruktur yang saling terhubung untuk memungkinkan pemilik kendaraan untuk berinteraksi satu sama lain, dan juga berinteraksi dengan kendaraan serta infrastruktur pendukungnya.
“Electro-Mobility merupakan saat dimana kendaraan akan berubah menggunakan elektrik sebagai sumber tenaganya, kita sebut Electric Vehicle (EV) dengan tidak lagi menggunakan bahan bakar (fosil) sebagai sumber energi. E-Mobility atau EV juga diyakini beberapa pihak menjadi jawaban atas kebutuhan transportasi masa depan, bukan hanya di dunia tapi juga di Indonesia,“ terang Hammam Riza pada acara Launching Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di MT Haryono dan Lenteng Agung, kerjasama antara BPPT dengan PT Pertamina secara virtual, Kamis (5/8/2021).
Hammam menyebutkan, indeks perkembangan E-Mobility dari negara-negara maju juga semakin signifikan dengan beberapa peningkatan yang dilakukan, baik dari sisi teknologi, industri, dan market. Negara besar seperti Tiongkok unggul karena industri yang kuat, sementara dari keunggulan pasar, Jerman lebih terdepan. Negara lain seperti Korea telah mengembangkan teknologi yang meningkatkan performa dari e-mobility, dan beberapa negara lain yang terus meningkatkan teknologi, industri dan market atau pasar dari e-mobility.
Perkembangan electric mobility atau e-mobility telah meningkat secara masif dan global. Beberapa pendorong peningkatan e-mobility global antara lain adalah 1) Kesadaran akan perubahan iklim yang telah membuat pemimpin-pemimpin dunia sepakat untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung pengurangan dampak dari perubahan iklim.
2) Selanjutnya reduksi emisi karbon, yang perlu menjadi perhatian dari semua pihak dengan salah satunya mengurangi pemakaian kendaraan berbasis bahan bakar dan aktivitas-aktivitas baru dengan menggunakan kendaraan berbasis listrik. 3) Peningkatan jumlah dari kendaraan listrik juga mendorong peningkatan ekosistem kendaraan berbasis listrik yang juga telah diproyeksikan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM dengan potensi mobil listrik di Indonesia pada 2021 ini mencapai sebanyak 125 ribu unit dan motor listrik mencapai 1,34 juta unit. Sementara secara global, jumlah mobil listrik, bus, van dan truk berat di jalan diperkirakan mencapai 145 juta pada akhir dekade ini atau pada tahun 2030. Demikian dikatakan oleh Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA), Maret 2021 yang lalu.
4) Selain itu, peningkatan teknologi dan infrastruktur pendukung juga telah mendorong berkembangnya e-mobility dengan performa dari kendaraan listrik yang terus meningkat dengan memberikan pengalaman berkendaraan yang baru kepada penggunanya ditambah infrastruktur penunjang berupa charging station yang semakin berkembang dengan waktu pengisian yang semakin cepat dan efisien.
“Beberapa upaya dalam mengurangi emisi karbon telah dilakukan oleh Indonesia, ASEAN, dan negara-negara lain didunia. Indonesia sebagai bagian dari ASEAN juga telah sepakat meratifikasi Paris Agreement. Menerapkan langkah-langkah untuk mengatasi perubahan iklim di bawah Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASCC) 2025. Mempromosikan efisiensi dan konservasi energi, sumber energi terbarukan dan teknologi energi rendah karbon, seperti salah satunya adalah kendaraan bermotor listrik berbasis baterai,” papar Hammam Riza.
Selain itu, tinjauan emisi sektoral di sektor kelistrikan Indonesia berdasarkan kebijakan saat ini dan berbagai tingkat aksi percepatan iklim telah dilakukan pemerintah Indonesia. Proyeksi kebutuhan listrik juga mempertimbangkan aksi-aksi mengantisipasi perubahan iklim yang semakin dipercepat, khususnya di sektor transportasi dengan peningkatan jumlah kendaraan berbasis green energy dan kendaraan listrik pada transportasi publik dan kendaraan pribadi.
“Implementasi KBLBB akan menurunkan impor BBM terutama impor bensin sebesar 51 juta barel (8,8 juta kiloliter) pada tahun 2030, dan sebesar 373 juta barel (setara dengan 64 juta kiloliter) pada tahun 2050. Dengan asumsi harga impor bensin yang digunakan, serta nilai tukar sebesar Rp15.000 per USD, maka potensi penghematan devisa dari penurunan impor bensin sebesar 5,86 miliar USD (sekitar 87,86 triliun rupiah),” ujarnya.
Namun masuknya KBLBB akan menaikkan sedikit impor LNG (untuk sektor pembangkit listrik). Adanya kenaikan impor LNG tersebut, maka potensi penurunan defisit neraca perdagangan migas menjadi lebih kecil, yaitu sebesar 78,42 miliar USD (sekitar 1.176,36 triliun rupiah) pada 2050.
“Penerapan KBLBB menurunkan impor BBM akan mengurangi rasio impor terhadap penyediaan energi nasional. Pada tahun 2030, rasio impor akan menurun sebesar 2 persen sedangkan pada tahun 2050 rasio impor akan turun sebesar 6,6 persen. Impor BBM ini terjadi karena adanya substitusi BBM dengan listrik,” ungkapnya. (*)
Posting Komentar