Ikan dari Pelabuhan Ternate Langsung ke Pasar Dunia
Ekspor tuna beku kini bisa dilakukan langsung dari Ternate. Kargo udara ke Jepang kini bisa diakses langsung dari Ambon.
Sudah lama orang mendengar Maluku Utara itu gudang ikan. Segala macam ikan samudra ada di sana, baik itu tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, marlin, kakap merah, bawal, kerapu, bambangan, peperek, dan banyak lainnya. Selama itu orang tahu pula, produk ikan laut yang berharga tersebut dijual dengan harga murah di pasar setempat.
Namun, situasinya kini telah berubah. Dari Pelabuhan Ahmad Yani di Ternate, Ibu Kota Maluku Utara, ikan-ikan tangkapan itu kini sudah bisa langsung diangkut keluar negeri. Peristiwa penting ini ditandai oleh pengapalan perdana satu peti kemas ikan tuna beku langsung ke Vietnam pada Minggu, 15 Agustus lalu.
Peti kemas yang berisi frozen yellowfin tuna (tuna sirip kuning) itu dikirim PT Kelola Mina Samudra dalam kemasan 399 koli kotak karton, dengan berat netto 11.967 kg. Ekspor perdana ini dirayakan dengan sebuah upacara selamatan kecil oleh jajaran Bea Cukai Ternate, di Pelabuhan Ahmad Yani.
Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Ternate Shinta Dewi Arini mengatakan, di tengah perekonomian Indonesia yang menyusut karena pandemi, ekspor yellowfin tuna beku perdana itu menjadi tantangan tersendiri. Semua pihak dituntut bergerak serentak di tengah pembatasan mobilitas, guna memastikan bahwa produk yang akan dikapalkan itu legal, teregister, berkualitas, tepat jumlah, dan tepat waktu di pelabuhan.
“Maka, dengan penuh rasa syukur mari kita melepas bersama-sama ekspor frozen yellowfin tuna ini ke Vietnam. Langsung dari Pelabuhan Ternate,” ujar Shinta di depan pemangku kepentingan yang hadir di darmaga.
Menurut Shinta, ekspor perdana ini adalah bukti ketangguhan masyarakat Maluku Utara untuk terus berusaha tumbuh di tengah pandemi Covid-19. Ia berharap semua pihak bersama-sama mendorong ekspor berbagai produk lain langsung dari Pelabuhan Ternate.
“Harapan kita, semoga ekspor perdana ini dapat menginspirasi kita semua. Kita di Bea Cukai punya fasilitas untuk mendukung ekspor, dan dengan sepenuh hati serta sekuat tenaga kami siap bekerja untuk kemajuan Ternate,” ujarnya.
Secara khusus, Shinta juga menyampaikan apresiasinya kepada PT Kelola Mina Samudra yang berhasil menembus pasar ekspor langsung dari pelabuhan domestik. Direktur PT Kelola Mina Samudra Sukendri mengatakan, pihaknya sudah merencanakan aksi ekspor langsung itu sejak setahun lalu. Namun, rupanya perlu persiapan cukup panjang, antara lain, untuk mendapatkan izin registrasi dari Marine Stewardship Council (MSC), lembaga internasional yang mengawasi penangkapan ikan demi menjaga kelestariannya.
“Sebelumnya, kami ini hanya bisa mengirimkannya ke Surabaya, dari Surabaya baru diekspor lagi ke Amerika Serikat oleh perusahan lain,” jelas Sukendri.
Jalan sudah terpangkas, lebih ringkas dan lebih murah. Sekretaris Daerah Kota Ternate Jusuf Sunya mengatakan, pihaknya siap mendukung kegiatan ekspor langsung oleh pengusaha-pengusaha lokal Ternate dan Maluku Utara umumnya. “Maluku Utara itu lumbung ikan nasional. Maka, ekspor tuna secara langsung ini menjadi berita yang sangat menggembirakan di tengah pandemi Covid-19,” ujar Jusuf Sunya, yang hadir dalam selebrasi sederhana di Pelabuhan Ahmad Yani, Ternate.
Kegembiraan Jusuf Sunya cukup beralasan. Penguatan jajaran bea-cukai, karantina, dan fasilitas lain pendukung ekspor bahan pangan (cold strorage, pengemasan dan lab pengawasan mutu) memang membuka peluang baru. Arus logistik lebih lancar. Ekspor tidak harus dilakukan melalui pelabuhan laut besar seperti Ambon, Makassar, Bitung, atau pelabuhan di Jawa.
Peluang Ekspor
Indonesia adalah lumbung ikan laut. Produksi ikan nasional, dari perikanan tangkap dan budi daya pada 2020, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, mencapai 230 juta ton, dengan nilai seluruhnya Rp380 triliun. Yang diekspor sekitar 1,26 juta ton dengan nilai USD5,2 miliar (Rp74 triliun). Komoditas ekspor terkuatnya adalah udang (budi daya), dengan volume 208 ribu ton, dan nilainya hampir USD2 miliar (Rp29 triliun).
Sebelum terganggu oleh pandemi, tren ekspor ikan dan udang itu menunjukkan grafik peningkatan yang konsisten selama beberapa tahun terakhir. Pandemi membuat sisi produksi merosot sekitar 3 persen, namun nilainya justru meningkat.
Di luar udang, komoditas ekspor andalan Indonesia adalah tuna-cakalang-tongkol, tiga jenis ikan dari famili yang sama. Volume ekspornya pada 2019 mencapai 198 ribu ton dengan nilai USD715 juta. Tujuan ekspornya adalah Amerika Sekitar, Tiongkok, Jepang, dan negara-negara Asean. Untuk udang, pasar ekspor terbesarnya adalah Amerika Serikat, lebih dari 60 persen.
Belakangan, selain ekspor ikan dalam bentuk tradisional, yakni ikan beku dan segar, ada permintaan ikan hidup, yang perlu kemasan khusus. Peningkatan ekspor ikan hidup, udang hidup, lobster hidup, kepiting, dan ikan hias memerlukan fasilitas khusus di bandara. Sejumlah bandara di daerah sudah melayani permintaan khusus ini, seperti bandara di Ambon, Manado.
Sejak setahun terakhir, Bandara Pattimura, Ambon, juga sudah melayani ekspor ikan hidup, ikan hias dan ikan segar, lewat jalur udara langsung ke Jepang. Sebelumnya, alur ekspor itu ialah dari Ambon ke Jakarta baru kemudian ke Narita, Tokyo. Kini rutenya, Ambon-Manado-Narita. Waktu tempuhnya dipangkas dari 24-26 jam menjadi 13 jam saja. Ongkosnya turun dari Rp42 ribu menjadi Rp24 ribu per kilogramnya.
Penerbangan kargo ikan langsung ke Singapura, Jepang, dan Tiongkok juga ada dari Makassar, Manado, Surabaya, Bali, Jakarta, Medan, dan Batam. Untuk jalur laut, terutama ikan beku, ada dari pelabuhan besar mulai dari Medan, Batam, Jakarta, Surabaya, Bali, Makassar, Bitung, dan Ambon.
Maka, pengapalan langsung dari Ternate adalah terobosan penting yang perlu dicatat. Produksi 23 juta ton ikan secara nasional per tahun berasal dari berbagai daerah. Biaya logistik akan terpangkas jauh bila lebih banyak pelabuhan bisa menjadi pintu gerbang ekspor. Bukan hanya untuk ikan, juga untuk produk lain, terutama dari usaha kecil dan mikro.
Namun, perdagangan internasional menerapkan tata kelola baru untuk menjaga sumber daya alam ini tetap lestari. Maka, Pemerintah Indonesia pun telah bekerja sama dengan lembaga seperti Marine Stewardship Council, yang mengawasi ilegal fishing untuk kawasan Pasifik dan Atlatik, serta Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), lembaga serupa yang melakukan pengawasan di Samudera Hindia.
Eksportir perlu memperoleh izin registrasi ekspor dari lembaga semacam itu, untuk mencantumkan asal-usul ikan yang akan diperdagangkan, jumlah, jenis, dan ukurannya. Ketentuan dari lembaga ini perlu diikuti.
Meski pun bukan lembaga resmi di bawah PBB, lembaga MSC dan IOTC dihormati di kalangan pelaku bisnis perikanan dan hampir semua negara. Semua sepakat perlu keberlanjutan usaha yang berbasis sumber daya alam. Maka, kesiapan bandara dan pelabuhan laut untuk kegiatan ekspor langsung produk perikanan, tak melulu terkait dengan sarana fisik.
Sumber daya manusia yang menanganinya pun harus siap dengan dengan tuntutan legalitas dan kualitas yang semakin njelimet. Toh, jajaran bea dan cukai di Ternate sudah menyatakan siap mendukung dan bisa melayani. Jadi, siapa menyusul? (foto ilustrasi Antara)
Posting Komentar