Mencermati Perkembangan Situasi Kabul
Indonesia meminta Taliban membangun pemerintahan inklusif dan menghormati perempuan. Sikap hati-hati diperlukan mengingat pengalaman getir masa lalu.
Mata dunia masih tertuju ke Kabul, ibu kota Afghanistan. Pascakeruntuhan pemerintahan resmi di bawah Presiden Ashraf Ghani, yang terbang meninggalkan Afghanistan menuju Uni Emirat Arab, 15 Agustus lalu, situasi di Kabul masih tidak menentu. Kelompok militan Taliban yang mengambil alih kekuasaan telah mendeklarasikan berdirinya Emirat Islam Afghanistan. Selebihnya, masih samar.
Perubahan politik yang amat mendadak, yang terjadi hanya 11 hari setelah militer Amerika Serikat (AS) meninggalkan Afghanistan, membuat sebagian rakyat panik. Umumnya mereka adalah orang-orang pemerintahan Presiden Ashraf Gani atau mereka yang selama ini bekerja untuk kepentingan AS dan Nato (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) di Afghanistan.
Mereka menyerbu Bandara Hamid Kharzai di Kabul, mencoba mengungsi keluar negeri, karena merasa terancam oleh Taliban. Ribuan jumlahnya. Drama berpindah ke kawasan bandara. Tenggat waktu sisa terakhir tentara AS dan Nato di Bandara Kabul ialah 31 Agustus 2021. Ribuan orang tak mau beranjak dari bandara dan mendesak untuk diungsikan.
Di tengah situasi dramatis itu bom meledak di dekat pagar bandara, persis di pinggir selokan besar, pada Kamis (26/8/21) malam. Beberapa laporan menyebutkan, ada dua ledakan beruntun dari pelaku bom bunuh diri. Ledakannya sangat dahsyat. Pers Amerika Serikat menyebut 13 prajurit AS tewas bersama 170 orang lain yang berkerumun di lokasi pengeboman. Sejumlah lainnya terluka.
Merespons situasi yang tidak pasti itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terbang ke Doha, Qatar, Kamis lalu. Saat berada di Qatar, Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi sempat bertemu dengan pejabat dari perwakilan Kantor Politik Taliban di Doha. "Di sela-sela kunjungan saya ke Qatar, saya juga bertemu dengan Perwakilan Kantor Politik Taliban di Doha, pada Kamis (26/8/2021)," tulis Retno dalam akun Twitter @Menlu_RI, Jumat yang diposting hari Jumat (27/8/2021).
Ada sejumlah pesan yang disampaikan Menlu dalam pertemuan itu. Salah satunya, dengan mengatasnamakan Pemerintah Indonesia, Menlu Retno meminta agar pihak Taliban memastikan Afghanistan tidak memberi tempat bagi terorisme. “Memastikan Afghanistan tak menjadi tempat berkembang biaknya organisasi dan kegiatan teroris,” ujar Retno.
Pada kesempatan yang sama, Retno Marsudi juga menyampaikan harapannya agar di Afghanistan terbentuk pemerintahan yang terbuka, yang tidak hanya mengutamakan kelompok tertentu, tidak pula membiarkan terjadinya diskriminasi gender. ’’Saya menyampaikan kepada pihak Taliban akan pentingnya pemerintahan yang inklusif di Afghanistan, menghormati hak perempuan," tulisnya.
Dalam kunjungannya ke Doha tersebut, Menlu Retno juga menemui Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani. Ia juga bertemu dengan perwakilan Amerika Serikat untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad. Pada kedua pertemuan itu, Menlu Retno mendiskusikan berbagai isu, utamanya menyangkut Afghanistan. ’’Kita mendiskusikan banyak isu terkait evakuasi, keamanan, dan masa depan Afghanistan," ujarnya.
Seusai menjalankan serangkaian pertemuan itu, masih di Doha, Retno Marsudi mendengar berita tentang ledakan bom yang mematikan di luar pagar Bandara Hamid Karzai Kabul itu. Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan, mengecam keras serangan teroris di pagar Bandara Hamid Karzai, Kabul, yang melukai dan menewaskan ratusan korban itu. Pernyataan itu diunggah melalui akun twitter resmi Kementerian @Kemlu_RI, Kamis malam, 26 Agustus 2021. “Indonesia strongly condemns the terrorist attacks near Kabul Airport (26/8) which killed dozens and injured many.’’
Kelompok teroris ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan bom di Bandara Kabul itu. Pernyataan itu dikutip stasiun TeVe Al Jazeera dari media propaganda ISIS, Amaq. Kelompok yang dimaksud adalah ISIS-K alias ISIS Khorasan, sempalan kelompok Taliban yang berkiblat ke ISIS Abu Bakr Al Bagdadi, yang pernah menebar teror di sebagian wilayah Irak dan Syiria selama 2012-2015. Adapun Khorasan sendiri adalah istilah Arab untuk Afghanistan.
Serangan teror di Bandara Kabul itu mengundang kutukan dari berbagai penjuru dunia. Meski terdengar lamat-lamat, Taliban juga mengecam tindakan kekerasan itu. Kehadiran ISIS-K itu tentunya akan menambah kerumitan politik Afghanistan.
Taliban sendiri ialah kelompok yang secara gigih memperjuangkan negara yang berdasar Syariat Islam di Afghanistan, dan sebagian besar pendukungnya ialah Suku Pashtun. Kelompok ini pernah berkuasa di Afghan pada 1996-2001, namun kemudian diruntuhkan oleh serangan militer AS, karena dianggap bersekutu dengan Al Qaeda, dalam serangan 11 September 2001.
Pemerintahan baru yang didukung AS pun terbentuk. Namun, pemerintahan itu rapuh, dan jatuh begitu pasukan AS angkat kaki. Taliban kembali berkuasa. Namun, kemenangan itu disambut oleh pernyataan perlawanan dari pesaingnya kelompok Pasukan Utara yang didukung Suku Tajik. Pihak lainnya, kelompok militer bekas pendukung Presiden Ashraf Ghani yang menolak menyerah pada Taliban, juga menyatakan perlawanan. AS sendiri menyatakan Rezim Taliban saat ini tak lagi mau mendukung terorisme.
Kerumitan peta politik itu yang membawa Menlu Retno Marsudi terbang ke Doha. Indonesia perlu secara dini mencermati perkembangan di Afghanistan. Mengacu pengalaman pahit berjangkitnya aksi-aksi terorisme di masa lalu, oleh sebagian sukarelawan Indonesia yang ikut berjuang bersama Taliban, sikap kehati-hatian Indonesia memang perlu dikedepankan. (Indonesia.go.id)
Posting Komentar