Kelokalan untuk Kamdagri
Suryadi Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) |
Indonesia yang terdiri atas belasan ribu pulau, dihuni beragam suku dengan beragam pula budaya dan agama yang dianut. Di era digital ini, pengaruh-pengaruh negatif sangat mudah dan cepat merasuk ke pelosok Tanah Air. Butuh filtering kuat untuk itu.
Kelokalan menjadi terapan yang mungkin menjadi “tempat kembali mengadu” dalam menempuh langkah cegah ampuh terhadap kemungkinan munculnya gangguan keamanan.
SULIT disangkal bahwa keamanan merupakan faktor penting dan kuat bagi terselenggaranya pemerintahan. Pemerintahan, dalam hal ini, dipahami pemerintahan yang dijalankan secara maksimal dan optimal, dengan tujuan memberi jaminan rasa aman bagi segenap masyarakat.
Dengan keamanan yang terjamin serta munculmya rasa aman tenteram pada masyarakat, diharapkan tujuan pembangunan, baik moril maupun matriil dapat dicapai dengan baik. Setidaknya, jika pun menghadapi gangguan, akan sangat minim karena kemunculannya dapat dicegah secara dini. Mungkin, begitu logika lurusnya!
Undang Undang (UU) No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menempatkan Polri langsung di bawah Presiden (Bab II, Pasal 8), dengan tugas pokok a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas); b) menegakkan hukum (Gakkum); dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Lin-yommas) (Bab II, Pasal 13). Sebelumnya, dalam UU yang sama, pada Bab I tentang Ketentuan Umum disebutkan:
Pasal 4: Polri bertujuan mewujudkan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang meliputi Harkamtibmas, tertib dan tegaknya hukum (Tibgakkum), terselenggaranya Lin-yommas, serta terbinanya ketenteraman masyarakat (Trammas) dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Pasal 5 (1): Polri merupakan alat negara yang berperan dalam Harkamtibmas, Gakkum, Linyommas dalam rangka terpeliharanya Kamdagri.
Pasal 5 (2): Polri adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Kepolisian Daerah (Polda Banten), yang “naik kelas” dari Kepolisian Wilayah (Polwil) pada Januari 2004 (Skep Kapolri No. Pol: Skep/07/1/2004 tanggal 7 Januari 2004) berikut jajaran bawahnya, adalah Kepolisian yang bertanggung jawab secara keseluruhan atas amanah UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.
Polda Banten sebagai bagian dari Kepolisian Nasional, kini membawahkan tujuh Kepolisian Resort (Polres) berikut Polsek-polseksnya. Ke-7-nya, yakni di Kabupaten-kabupaten Tangerang, Serang, Pandeglang, dan Lebak, selain Kota-kota Serang dan Cilegon. Beberapa wilayah yang secara administratif masuk Provinsi Banten, secara wilayah hukum (Wilkum) di bawah Polres Metro Kota Tangerang dan Tangerang Selatan (Tangsel) atau masuk dalam Wilkum Polda Metro Jaya.
Wilkum Polda Banten, selain sebagian berada dalam perlintasan nasional (terhubung oleh jalan tol Merak – Jakarta dan jalan-jalan nasional lainnya), sangat beririsan atau bertetangga langsung dengan Jakarta, sebagai Ibu Kota Negara. Sebagian lagi bersebelahan langsung dengan wilayah Provinsi Jabar, yakni Lebak.
Awalnya, Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat (Jabar). Tetapi, sejak 18 November 2000 berdiri sendiri sebagai provinsi di ujung selatan Pulau Jawa dan hanya dipisahkan oleh Selat Sunda --yang “terhubung dan hidup sepanjang waktu” oleh jembatan laut dengan Lampung di Sumatera. Pemisahan Banten dari Jabar sesuai UU No. 23 tahun 2000 tanggal 4 Oktober 2000.
Dari sekilas gambaran kewilayahan Banten, secara umum, daerah ini tampaknya dihuni (tetap) oleh orang-orang lokal setempat, di samping pendatang yang “tinggal sementara, lalu pergi” meninggalkan beragam persoalan sosial, termasuk tindak criminal.
Tentang orang-orang lokal setempat, agaknya, patut disimak Harsojo dalam Kebudayan Sunda yang menulis, “… di daerah Banten digunakan bahasa Jawa di samping bahasa Sunda. ….Bahasa orang Badui, yang terdapat di Banten Selatan adalah bahasa Sunda Kuno. …Dilihat dari sudut kronologis sejarah agama Islam lebih dahulu tersebar di Banten….” (Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 1999: 307 – 307).
Pengaruh lain, seperti kerap diumpamakan, “Apa yang terjadi dan berkembang di Ibu Kota Jakarta, sekejap saja sudah menjalar ke Banten”. Demikian pula, dampak bawaan dari daerah-daerah lain di Jawa dan Sumatera. Pendek kata, semua berkelindan menjadi potensi, yang tak jarang membuahkan peristiwa-peristiwa kriminal. Misal, pencurian kendaraan bermotor (curanmor), kejahatan seksual (termasuk terhadap anak bawah umur), peredaran narkoba dan obat-obat keras, dan penganiayaan. Kriminalitas cyber dan Mafia tanah pun menjadi bagian peristiwa kriminal yang tidak sedikit.
Agaknya, kenyataan ini tak bisa dilepaskan dari salah guna produk kemajuan teknologi komunikasi yang berciri “cepat dan mudah” versus ketidaksiapan melakukan “saring sebelum sharing”. Bagi Polri yang aktivitasnya langsung selalu berada di tengah-tengah masyarakat, hal ini berarti manusia polisinya harus benar-benar menjaga ketertiban diri, mengingat tentang polisi (berdampak pada institusi Polri) setiap saat bisa saja beredar di media sosial (medsos). Dalam bahasa medsosnya viral.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit merasa penting mengingatkan segenap jajarannya, era digital saat ini telah melahirkan citizen journalism, masyarakat bisa menjadi sumber pemberitaan dengan memanfaatkan medsos. Di mana pun berada, hal baik maupun buruk, tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. “Ada hal-hal yang tentunya menjadi bisa dinilai positif. Kemudian, menjadi negatif manakala itu terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan di era digital hyper connectivity", Sigit mengingatkan dalam acara Kompolnas Awards 2023, di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (21/6).
Dengan demikian peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi dan tentu saja menjadi tanggung jawab polisi menjaga agar tetap berada dalam suasana tertib, di baliknya adalah sangat layak ditangani pada tingkat dini oleh Polri bersama masyarakat. Ini dimaksudkan “langkah mencegah jauh lebih baik ketimbang sesuatu terlanjur terjadi”. Sehingga, polisi tidak menjadi semacam sekadar “pemadam kebakaran”.
Jika tidak demikian, bukan mustahil yang dialami polisi “sudahlah kebagian menangani, toh masih saja disoroti secara tak proporsional”. Misalnya, hanya lantaran rasa tidak puas dalam memandang perlakuan atau pelayanan Polri.
Kelokalan Sebagai Terapan
DI luar keterampilan teknis kepolisian dan kemampuan memroses menurut hukum positif, agaknya, tepat yang telah diterapkan oleh Polda Banten dari masa ke masa, yakni pendekatan-pendekatan kelokalan kepada masyarakat setempat.
Dengan kata lain, mungkin itulah yang dimaksudkan sebagai ilmu terapan, yaitu penerapan satu atau lebih dari berbagai bidang untuk menyelesaikan masalah praktis yang langsung memengaruhi kehidupan manusia sehari-hari.
Terkait dengan hal tersebut, adalah penting menjadi catatan bahwa Polda Banten pada Januari 2021 mencanangkan “12 Commander Wish” atau “12 Kebijakan yang Didasarkan atas Kearifan Lokal Setempat”. Pencanangan ini adalah original yang dibawa oleh kepemimpinan Kapolda Irjen Pol. Prof. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho, S.H., M.H., M.B.A. Ia dilantik menjadi Kapolda (ke-17) Banten pada 5 Januari 2021.
Dua belas kearifan itu meliputi: 1) Ngaji Bareng Kapolda, 2) Rukun Ulama - Umaro, 3) Yuk Ngopo Wae, 4) Subuhan Keliling, 5) Saba Pesantren, 6) Sowan Sepuh, 7) Ronda Siskamling, 8) Guyub TNI – Polri, 9) Sinergi Tiga Pilar, 10) Warung Jumat, 11) Polisi Sayang Anak Yaitim, dan 12) Penguatan Manajemen Media.
Ke-12 kearifan yang dikemas dalam Polisi yang Empati, Ngayomi, dan Dekat dengan Rakyat (PENDEKAR) Banten tersebut, digali dari kultur lokal Banten yang agamis dan realitas hubungan Polri dengan TNI dan komponen pimpinan daerah yang ada dalam Forum Komunikasi Piminan Daerah (Forkompimda). Satu lagi, yakni pebinaan hubungan dengan media yang amat terkait dengan pentingnya sebaraan informasi yang diharapkan membuahkan umpan balik atau kontrol masyarakat terhadap Polri.
“12 Commander Wish”, agaknya tidak terlalu melenceng disebut sebagai suatu terapan. Kenangan R. Yando Zakaria tentang gurunya, antropolog Indonesia Prof. Koentjaraningrat (alm) dituliskan, “Penggunaan antropologi sebagai praktik (untuk) penyelesaian masalah negara dan kebangsaan ini, jelas terlihat dalam berbagai karya tulis yang pernah dihasilkannya (Koentjaraningrat, pen); baik berdasarkan kajiannya sendiri maupun melalui upaya menghimpun berbagai karya tulis peneliti lainnya. Himpunan yang berwujud buku itu tentu dimaksudkannya sebagai upaya untuk menjelaskan masalah sosial kemasyarakatan yang perlu segera ditangani (Mencegat Pak Koen di Taman Sastra dalam Frieda Amran dkk (ed), Seabad Koentjaraningrat, 2023: 189 – 190).
Dengan penerapan kelokalan setempat yang positif, diharapkan, bahu-membahu kekuatan yang hidup di masyarakat dan komponen lainnya di Pemerintahan dengan Polri, peristiwa-peristiwa yang dapat kategorikan menggangu keamananan dapat tercegah. Ke dalam, Polri sendiri sebagai pihak yang patut maju selangkah lebih dahulu ketimbang masyarakat dalam hal budi pekerti, kian bersemangat menjalankan kewenangan, fungsi, dan tugas yang dipercayakan oleh negara kepadanya.
“12 Commander Wish” atau yang sejenis itu, agaknya, patut “didemamkan” di Tanah Air sesuai dengan kelokalan yang hidup di dalamnya. Bukankah kian banyak perkara pelanggaran hukum atau peristiwa kriminal yang ditangani, berarti banyak pula gangguan keamanan yang terjadi?
Berlakukan “Mencegah itu jauh lebih baik”. Sebab, jika kriminal atau gangguan keamanan terlanjur terjadi, tentu sangat melelahkan. Lagi pula, pastilah itu costly!
Polri, selamat Hari Bhayangkara, 1 Juli. Selamat berkarya! **
Posting Komentar